Sebagaimana Jombang, Surabaya merupakan urat nadi pertumbuhan dan perkembangan Nahdlatul Ulama. Tidak hanya menjadi tuan rumah berdirinya NU,
tapi daerah itu pula organisasi para kiai itu dikendalikan pada masa-masa awal. Sebelum bertempat di ibu kota seperti saat ini, PBNU memang berkedudukan di Surabaya.
Sempat pula pindah ke Pasuruan dan Madiun untuk alasan yang taktis, namun tak berlangsung lama. Peranan Surabaya yang menjadi salah satu kota besar sejak era kolonial,
memang memiliki fungsi strategis. Di kota itulah pusat pemerintahan dan perdagangan di daerah timur Jawa ditempatkan. Aksesibilitas pun mudah. Pendidikan berkembang.
Pergolakan pemikiran dan pergerakan pun bersemi. Tak heran, jika lantas NU menjadikan Surabaya sebagai markas utamanya.
Besarnya kontribusi Surabaya dalam NU secara nasional memang tak perlu diragukan. Banyak catatan sejarah yang telah mengabadikannya. Namun,
tentang bagaimana kontribusi Surabaya dalam mengembangkan NU pada tataran lokalistiknya, masih tak banyak yang mengungkapkannya. Misal,
kapan NU Cabang Surabaya didirikan? Untuk menjawab pertanyaan di atas, sebuah pemberitaan di Swara Nahdlatoel Oelama (SNO) edisi 9 tahun II 1348 memberikan jawabannya.
Jawaban yang juga dirujuk oleh Mathari Bashar dalam tulisannya, Riwajat Perhimpoenan Nahdlatoel Oelama Tjabang Soerabaja Moelai 11 Mei 1929 - 11 Mei 1939 (Surabaya, t.p, 1940).
NU Cabang Surabaya berdiri selang sebulan dari NU Cabang Jombang. Yakni pada Jumat malam, 10 Muharam 1348 H atau bertepatan pada 28 Juni 1928 M.
Saat itu, PBNU atau dulu dikenal dengan sebutan Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) sedang menggelar pertemuan.
Seperti ditulis Mathari Bashar, pada pertemuan tersebut Kiai Hasyim menanyai kesanggupan warga Surabaya untuk mendirikan Cabang NU tersendiri.
"Apakah perlu di kota Surabaya didirikan Cabang NU? Sebab sebelum ini, penduduk Surabaya masih mengikuti langkah dan terjangnya anggota HBNO?" tanya Rais Akbar tersebut.
Ulama dan para tokoh Surabaya yang hadir memufakati usulan dari Kiai Hasyim tersebut. Tidak mengherankan memang apa yang dikatakan kakek dari Gus Dur tersebut. Saat itu,
banyak ulama dan aktivis di Surabaya yang justru menjadi tulang punggung HBNO. Mulai dari Kiai Dahlan, Kiai Wahab, Kiai Abdul Halim, Kiai Mas Alwi, Kiai Amin Abdus Syukur dan lain sebagainya.
Pada pengurusan awal HBNO, tercatat ada 35 orang yang beralamat di Surabaya dari 46 pengurus. Seusai menyatakan kemufakatannya tersebut,
lantas ahli Surabaya mendapatkan penjelasan ihwal keorganisasian NU oleh Sekretaris HBNO Muhammad Shodiq. Kemudian, dilanjutkan dengan musyawarah pembentukan kepengurusan awal NU Cabang Surabaya.